Opini

480

PUASA DAN MAKNA INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Wahyu Budi Utomo (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM ) - Bulan Ramadhan merupakan bulan kesucian, bulan penuh berkat, bulan ampunan, dan Rahmat. Bulan Ramadhan ditandai dengan ibadah puasa yang dilaksanakan 30 hari selama bulan Ramadhan pun ibadah-ibadah lainnya seperti shalat tarawih, tadarus (membaca al-qur’an), dan lain sebagainya.  Perintah puasa bagi umat muslim ini terdapat dalam Q.S. Al Baqarah; 183, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Jika kita melihat sepintas arti dari ayat di atas, jelas bahwa puasa merupakan peribadatan yang memang sudah ada dan dilakukan oleh umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Dan tujuan dari puasa adalah menjadi insan yang bertakwa. Bagi umat Islam puasa di bulan Ramadhan sudah menjadi tradisi tahunan, dan bahkan bulan yang dinantikan dalam harap dan do’a. Lalu apa arti puasa? Puasa memiliki arti menahan, dalam kaidah bahasa Arab pengertiannya adalah as-Shiyaam atau as-Shaum yang berarti menahan. Dalam pengertian menahan ini, Imam Ghazali membagi kedalam tiga tingkatan orang berpuasa, pertama, puasanya orang awam, kategori puasa ini adalah menahan makan dan minum serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa secara syariat. Kedua, puasanya orang khusus, kategori puasa ini tidak hanya menahan makan, minum, serta segala hal yang dapat membatalkan puasa secara syariat, tetapi juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuh lainnya dari hal-hal kemaksiatan. Contohnya disamping menahan untuk tidak mengunyah makanan, tapi juga mengendalikan dengan menahan lisan dari menggunjing atau bahkan mencemooh orang lain. Ketiga, puasanya orang yang Istimewa, bagaimana keistimewaannya? Disamping menahan lapar, menahan dari berbagai maksiat, disaat yang sama pribadi ini menjaga hati dan fikirannnya untuk selalu mengingat Allah Tuhan Yang Esa, dan tidak ada keraguan tentang kehidupan setelah kematian (akhirat).  Dari tiga kategori di atas point penting secara esensi ibadah puasa adalah menahan dan pengendalian diri. Pengendalian diri dan menahan dari berbagai hal-hal negative yang dapat mendegradasi kualitas kemanusiaan kita. Relevansi puasa dengan integritas penyelenggara pemilu Jika kita refleksikan pada penyelenggaraan baik Tahapan Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024, tentu berbagai tantangan sebagai penyelenggara baik di tingkat KPU hingga Badan Adhoc cukup luar biasa. Tantangan itu beragam, cukup menguji integritas sebagai penyelenggara. Integritas yang menjadi pertaruhan kualitas penyelenggara. Integritas merupakan kualitas kejujuran dan prinsip moral di dalam diri seseorang yang dilakukan secara konsisten dan utuh, baik perkataan dan perbuatan dalam kehidupannya secara menyeluruh. Singkatnya, integritas adalah keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip yang menjadi landasan hidup dan melekat pada diri seseorang sebagai nilai-nilai moral (etika), di dalamnya tumbuh komitmen pada prinsip yang baik dan benar. Dengan puasa sebagai pengendalian/menahan dari hal-hal negatif dari fikiran, ucapan, dan sikap integritas merupakan sikap, sikap yang ada pada diri setiap orang. Akan tetapi sikap ini tidak jarang terkontaminasi oleh berbagai pikiran-pikiran yang bertentangan dengan makna integritas. Maka, makna dan nilai puasa adalah menahan dan mengendalikan manusia untuk selalu bergerak (berjalan) pada kebenaran, kebaikan, serta integritas, dan menjalankannya dengan sedemikian rupa sehingga tujuan puasa menjadi insan yang bertakwa memanifestasi dalam integritas insan penyelenggara.


Selengkapnya
2136

--PARTISIPASI MASYARAKAT MENURUN DALAM PEMILIHAN SERENTAK TAHUN 2024 --

kota-salatiga.kpu.go.id - Pemilihan Serentak Tahun 2024 telah berakhir, menyisakan, tahapan penyelesaian sengketa pemilihan maupun penetapan pasangan calon dalam pemilihan. Beberapa daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah misalnya masih terganjal dengan adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi. Prinsipnya baik daerah yang ada sengketa dalam pemilihan ataupun tidak ada sengketa, sama-sama mempersiapkan tahapan selanjutnya pasca rekapitulasi sesuai tingkatannya. Apapun hiruk pikuknya dalam pemilihan serentak ini, penyelenggara pemilu telah berhasil mengorkestrasi pelaksanaan pemilihan serentak untuk pertama kalinya dalam sejarah kepemiluan di Indonesia. Dalam tahapan penyelenggaraan dimulai dari perencanaan hingga sampai pemungutan dan penghitungan suara yang menjadi objeknya adalah pemilih atau seseorang yang akan menggunakan hak pilih. Dalam perjalanan proses pendataan dan pemutakhiran daftar pemilih misalnya, baik secara normative sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, untuk memutakhirkan dan menghasilkan produk yang up to date tentang daftar pemilih, yaitu ditetapkannya pemilih sebagai DPT (Daftar Pemilih Tetap). Pada penyelenggaraan Pemilihan Serentak tahun 2024 pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Kota Salatiga jumlah DPT mencapai 149.477 pemilih, dengan rincian Pemilih laki-laki 72.382, Pemilih Perempuan 77.095, terdiri dari 301 TPS. Dalam moment kepemiluan jumlah pemilih Perempuan lebih banyak dari pemilih laki-laki mengingat ini adalah fakta jumlah populasi penduduk di setiap Kabupaten/Kota. Lalu bagaimana dengan pengguna hak pilih dalam DPT pada Pemilihan Serentak tanggal 27 November 2024 kemarin? Apakah pemilih dalam DPT tersebut menggunakan hak pilihnya di TPS? Meskipun ini pertanyaan umum dan lazim namun menarik untuk diurai sejauh mana pemilih dalam DPT menggunakan hak pilihnya. Sesuai dengan hasil Rekapitulasi Penghitungan di Tingkat KPU Kota Salatiga, Jumlah Pemilih dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya total mencapai 117.698, dengan rincian pemilih laki-laki 55.359, dan pemilih Perempuan 62.339. Jika demikian ada kurang lebih  31.779 pemilih dalam DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya (hal ini bisa terjadi  karena berbagai hal, misalnya pemilih meninggal, pindah domisili, atau tidak berada ditempat pada saat pemungutan suara). Jumlah pemilih tambahan 268, sementara jumlah pemilih dalam daftar pemilih khusus atau DPK 404 pemilih. Prosentase Partisipasi Pemilih Pada Pemilihan Serentak tahun 2024 di Kota Salatiga mencapai 78,98%, prosentase ini menurun jika dibandingkan dengan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2017 yang mencapai 82,6%. Partisipasi Rendah dalam Pemilihan Serentak Rendahnya angka partisipasi pemilih pada perhelatan pemilihan serentak ini menjadi pembahasan yang cukup menarik. Sebagai contoh Kota Salatiga, dari sisi waktu jika pada Pemilihan Walikota Salatiga Tahun 2017, pemilihan ini tidak dilaksanakan secara serentak, artinya dalam satu Pemilihan, KPU hanya berkonsentrasi menyelenggarakan Pemilihan Walikota saja. Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah dilaksanakan setelah Pilwakot selesai tepatnya di tahun 2018 atau setahun setelahnya. Untuk jenis Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2024 Kota Salatiga mengalami kenaikan kurang lebih 1% daripada Pilgub 2018 yang cuma sebesar 78,77%. Tepatnya Pilgub tahun 2024 berhasil menorehkan perolehan partisipasi Masyarakat sebesar 79,19%. Mengapa demikian? Karena menurunnya prosentase partisipasi dapat ditemukan hampir merata di seluruh Indonesia. Melansir Tempo 09 Desember 2024, Angka partisipasi pada Pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya mencapai 58 persen, jauh di bawah capaian Pilkada 2017 yang mencapai 78 persen. CNN Indonesia 04 Desember 2024 memberitakan, tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2024 pada sejumlah daerah rendah. Misalnya, Pilgub DKI Jakarta yang tingkat partisipasinya di angka 50 persen. Quick count Lembaga Survei Indonesia menyebut tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta sebesar 57,69 persen. Indikator Politik Indonesia menyebut 67,76 persen. Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia mencatat beberapa hal berkaitan dengan Partisipasi Masyarakat menurun, antara lain pertama, Masyarakat mengalami kejenuhan. Kedua, Waktu kampanye yang pendek, ketiga, Singkatnya waktu persiapan oleh KPU (Penyelenggara Pemilu), keempat, Banyak calon yang dari luar daerah tidak cukup punya akar di Masyarakat, kelima, Fenomena calon tunggal atau kotak kosong, keenam, Cuaca buruk dan bencana alam, ketujuh, Jumlah TPS saat Pilkada yang lebih sedikit, hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto dalam acara Evaluasi Pemilu dan Pemilihan Serentak tahun 2024 yang diselenggarakan oleh KPU RI. Dengan pendeknya masa kampanye. Masa Kampanye dalam Pemilihan dimulai pada 25 September – 23 November 2024 (sesuai dengan PKPU 2 tahun 2024, tentang jadwal dan tahapan pemilihan). Namun dalam hal kampanye pasangan calon berkaitan dengan Alat Peraga Kampanye (APK), para kandidat pasangan calon terbatasi oleh adanya larangan pemasangan alat peraga kampanye. Larangan tersebut termaktub di dalam Peraturan Walikota, sebagai contohnya di Kota Salatiga. Perwali Kota Salatiga banyak membatasi pasangan calon dalam berkreasi untuk melaksanakan kampanye, alih alih membuat kampanye menjadi menarik di mata masyarakat namun malah dianggap “anyep” tidak ada gebrakan kampanye. Sejatinya kampanye itu merupakan salah satu bentuk paslon dalam meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi dan programnya. Sudah sewajarnya Peraturan Walikota tersebut dilakukan re-evaluasi mengikuti perkembangan zaman. Selain itu Pendidikan politik pemilih juga menjadi hal yang urgent dalam rangka memberikan informasi, pengetahuan, dan pemahaman terhadap kepemiluan khususnya serta demokrasi pada umumnya. Kedepan diharapkan ada Kerjasama yang lebih solid dalam rangka menggerakkan Pendidikan politik kepada Masyarakat luas, secara lebih spesifiknya tetap menyasar kepada segmentasi Masyarakat. Sebagai contoh dalam dunia Pendidikan, baik dalam dunia kampus maupun sekolah menengah atas. Karena kedua unsur Pendidikan tersebut masuk dalam kategori pemilih pemula sesuai dengan rentang usia 17 – 21 tahun. Kerjasama tersebut tidak berhenti pada gelaran moment Pemilu maupun Pilkada, tapi dilaksanakan secara berkelanjutan.  (Wahyu/ParmasKPUSltg).


Selengkapnya
447

SOSIALISASI PENDIDIKAN PEMILIH KEPADA PEMILIH PEMULA DAN TANTANGANNYA DI ERA POST TRUTH

Oleh : Wahyu Budi Utomo, M.Pd Penulis adalah Komisioner KPU Kota Salatiga Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat, Pendidikan Pemilih dan SDM   Meningkatkan partisipasi masyarakat dan upaya melaksanakan pendidikan pemilih menjadi tugas dan kewajiban KPU dalam menyukseskan Pilkada Serentak Tahun 2024. Hal ini diatur dalam dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sosialisasi dapat dilakukan dalam bentuk pengawasan pada setiap tahapan Pemilihan, pendidikan politik bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilihan, dan penghitungan cepat hasil Pemilihan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, yang menyatakan kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk Sosialisasi dan/atau Pendidikan Pemilih seperti telah tersebut dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 620 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Melalui ketentuan tersebut Penyelenggara Pemilu (dalam hal ini KPU) melaksanakan Sosialisasi yang menyeluruh dan mendalam dari Tingkat pusat hingga daerah. Di dalam ketentuan terdapat berbagai bentuk Sosialiasi, baik sasaran, segmentasi, bentuk, media, tujuan Sosialisasi termaktub di dalamnya. Yang menjadi salah satu segment dalam Sosialisasi tanpa mengecualikan yang lain adalah berkaitan dengan sasaran kepada pemilih pemula. Meskipun berbagai kesempatan dan pertemuan banyak pembahasan tentang Sosialisasi kepada Pemilih Pemula, kita sadari bahwa pemilih pemula dari setiap kepemiluan semakin meningkat jumlahnya. Pemilih pemula hadir dengan berbagai macam tantangan dengan dinamika yang berbeda-beda. Pun dalam kepemiluan pemilih pemula selalu ada (tidak bisa dielakkan, selalu ada pemilih pemula dalam setiap moment kepemiluan. Lalu apa itu Pemilih Pemula? Di dalam Pedoman Pendidikan Pemilih KPU RI, definisi Pemilih pemula adalah mereka yang memasuki usia memilih dan yang akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali dalam pemilu/pemilukada. Dengan siklus pemilihan di Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali maka kisaran usia pemilih pemula adalah 17-21 tahun. Rata-rata kelompok pemilih ini adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi dan pekerja muda, atau dengan kata lain lulusan SMA . Mengapa Pemilih Pemula menjadi sasaran dalam Sosialiasi? Hal ini terlihat dari kuantitas pemilih pemula dalam moment kepemiluan itu besar, dan untuk yang pertama kali sebagai Warga Negara Indonesia menggunakan hak pilihnya, serta menjadi bekal bagi pemilih pemula dalam memandang demokrasi secara luas, hal inilah menjadi tugas bagi penyelenggara untuk memberikan pemahaman kepada pemilih pemula. Tantangan Pendidikan Pemilih di Tengah Emplosi Informasi. Saat ini kita hidup dalam ruang riuh hingar bingar informasi yang sepertinya tanpa bisa diinterupsi. Lautan informasi ini merupakan implikasi kemajuan teknologi yang sangat pesat. Turunan dari kemajuan teknologi adalah percepatan akses informasi yang diterima. Baik buruknya informasi, benar salahnya informasi saling menumpuk berkait berkelindan dalam ruang virtual (media sosial). Masyarakat dapat mengakses informasi yang diinginkan dari berbagai macam bentuk dan sumber. Tidak terlalu ambil pusing, apakah sumber itu kredibel atau tidak, semua diserap tanpa filtrasi dan daya kritis yang cukup. Maka silang sengkarut informasi dan ledakan informasi saling berkelindan. Cukup dengan kita berdiam ditempat dan informasi itu datang kepada kita. Yasraf Amir Piliang dalam salah satu karyanya, Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, mengutip Jean Baudrillard, menyebut bahwa keadaan berdiam diri di tempat ini sebagai pola implosi, dengan pengertian meledaknya informasi ke arah manusia (sebagai pusat) yang berdiam di tempat. Bahkan kita dapat berpindah tempat dari sumber yang kita dapatkan ke sumber yang lain, tanpa membandingkan apakah informasi ini benar atau informasi ini keliru dari media sosial yang kita miliki. Semua terserap, berganti dengan cepat berbagai kecepatan informasi itu. Membuat seolah-olah kita yang akrab dengan percepatan informasi itu tidak dapat rehat sejenak dengan hingar bingarnya. Tom Nicols, dalam The Dead of Expertise, menggambarkan bagaimana negara Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara superpower (adikuasa) dengan warganya sangat akrab dengan informasi dan sikap kritisnya, tak luput dan terpapar oleh informasi yang acap kali kita dengar sebagai hoax. Orang Amerika lanjut Nicols, tidak hanya mengkritik data dan informasi dari orang (kepakaran) maupun Lembaga yang memiliki otoritas, melainkan menggugat otoritas kepakaran seseorang dan Lembaga yang memiliki otoritas tertentu. Ia melanjutkan bahwa ini bukan hanya masalah ketidakpercayaan atau keraguan; ini adalah narsisme, yang digabung dengan penghinaan terhadap kepakaran, sebagai sejenis bentuk praktik aktualisasi diri. Dengan demikian, apa kaitannya gambaran tersebut dengan Pendidikan pemilih bagi pemilih pemula? Ini tantangan dari waktu kewaktu dalam hal sosialisasi yang sasarannya adalah pemilih pemula. Pemilih pemula menjadi sasaran strategis karena berbagai alasan, salah satunya adalah agar memiliki pemahaman yang baik pula terhadap demokrasi, dengan demikian penyelenggara dapat berpartisipasi aktif dalam memberikan pemahaman kepada mereka sebagai bekal di masa depan. Disamping pemahaman tentang demokrasi secara umum termasuk tentang kepemiluan di dalamnya, memberikan pemahaman kepada kepakaran dan otoritas kelembagaan merupakan sebuah keniscayaan, tanpa terkecuali tentang penyelenggaraan kepemiluan. Langkah strategis Sosialisasi kepada Pemilih Pemula Dalam rangka melakukan Pendidikan pemilih, khususnya kepada Pemilih Pemula perlu Langkah strategis dan praktis dalam rangka memberikan pemahaman kepada pemilih pemula. Mengapa demikian? Karena rentang usia pemilih pemula ini sangat rawan terpapar dengan adanya Hoax dan informasi-informasi banal lainnya. Dalam psikologi perkembangan remaja muncul adagium masa remaja sebagai masa mencari identitas, apa peranannya dalam Masyarakat dengan berbagai macam kompleksitasnya. Yang pertama, Kerjasama berkelanjutan antara Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU dengan pihak Sekolah didalam rangka memberikan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman terkait dengan Demokrasi dan Kepemiluan. Kerjasama ini bukanlah Kerjasama musiman sebagaimana galibnya jika Sosialisasi hanya dilakukan pada saat moment tahapan kepemiluan saja. Meskipun disekolah terdapat mata Pelajaran P5, hal ini dapat diintegrasikan dengan materi Demokrasi, Kepemiluan, dan praktiknya. Mendudukkan pemahaman politik secara proporsional, ditengah berbagai informasi yang dapat mendistorsi pemahaman politik dan kepemiluan bagi pemilih pemula. Turunan dari pemahaman di atas yang kedua yakni, materi kepemiluan disampaikan sesuai dengan pemahaman mereka sebagai pemilih pemula, menyampaikan dengan Bahasa yang familiar ditelinga mereka, termasuk contoh-contoh, yang sebenarnya itu ada dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan Bahasa yang lugas dan familiar dengan dunia mereka, hal ini membuat peserta didik maupun pemilih pemula khususnya menjadi menyenangkan dalam pembelajaran. Setelah dalam tahap pemahaman, dan contohnya, yang ketiga adalah Praktik dalam hal ini Simulasi. Dalam hal simulasi, tidak semua materi dapat disimulasikan, dalam Kepemiluan yang berkaitan dengan Tugas KPPS tentu bisa disimulasikan, mengapa demikian? Karena ini berkaitan dengan kegiatan periodic mereka yaitu Pemilihan Ketua Osis. Baik dalam ranah persiapan, sosialisasi, kampanye, dan pemungutan suara. Tentu dalam eksplorasi penyelenggara maupun pendidik tidak hanya berhenti dalam pemahaman tentang demokrasi, kepemiluan, dan simulasinya tetapi juga berkaitan dengan Etika. Baik dalam ranah teoritik, studi kasus, dan praktik, etika dalam demokrasi dan etika dalam pemilu juga disampaikan dalam Upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.     Sumber bacaan; Tom Nicols. The Death of Expertise; Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah mapan dan Mudharatnya. Jakarta, 2018. KPG. Yasraf Amir Piliang. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung, 2011. Matahari. KPU RI. Pedoman Pendidikan Pemilih. Tanpa tahun. Riryn Fatmawaty. Memahami Psikologi Remaja. Jurnal Reforma Vol. VI No. 02, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNISLA.


Selengkapnya
846

MERAJUT ASA LOLOS VERIFIKASI PESERTA PEMILU 2024

  Abd. Rohim, S.Sos Penulis adalah Komisioner KPU Kota Salatiga Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat, Pendidikan Pemilih dan SDM Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang tahapan Pemilu 2024 telah di tetapkan, yaitu PKPU No 3 tahun 2022. Pada 14 Juni 2022 lalu, KPU secara seremonial telah melaunching tahapan Pemilu 2024. Launcing tahapan tersebut adalah 20 (dua puluh) bulan terhitung mundur dari 14 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara. Tahapan awal yang krusial dan seluruh mata akan tertuju adalah penetapan partai politik sebagai salah satu peserta pemilu. Selain dua peserta pemilu lainya yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden serta calon perseorangan atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan ditetapkan kemudian. Sebelum penetapan partai politik sebagai peserta pemilu, tentu ada dua proses utama yang harus dilalui, yaitu pendaftaran dan verifikasi oleh KPU baik verifikasi administrasi dan/atau faktual. PKPU No 4 tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Partai Politik juga telah di tetapkan pada 20 Juli 2022. Proses inilah yang menjadi titik krusial bagi partai politik calon peserta pemilu 2024 yang harus dipersiapkan sedemikian rupa. Apalagi partai baru tentu ini bukan hal mudah dan perlu effort yang luar biasa untuk memenuhi persyaratan mesin politiknya.   Sekedar flashback pada tahun 2017, ada 27 partai politik calon peserta pemilu serentak tahun 2019 yang mendaftar ke KPU RI. Meskipun secara keseluruhan ada 31 partai yang meminta username dan password untuk meng-input data dalam System Informasi Partai Politik (Sipol). Sehingga ada empat parpol yang tidak mendaftar meskipun sudah mendapatkan username dan password dari KPU RI. Pada akhirnya KPU RI menetapkan ada 16 Partai Nasional yang lolos sebagai peserta pemilu pada 2019 dan 4 partai lokal Aceh. Meskipun ada proses hukum untuk 2 partai yaitu Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang mewarnai sebelum ditetapkan. Pendaftaran partai politik peserta pemilu dimulai pada 1-14 Agustus 2022 dan diteruskan dengan pelaksanaan verifikasi oleh KPU sampai tanggal penetapan. Namun permintaan username dan password akun Sipol telah dibuka sejak lima minggu sebelum pendaftaran, artinya lebih lama dari tahun 2017 yang hanya dibuka dalam dua minggu. Hal ini sebagai langkah lebih baik untuk memberikan waktu yang cukup bagi partai politik dalam mempersiapkan dan meng-input data sebelum pendaftaran. Setelah pendaftaran dan serangkaian proses verifikasi, sebagaimana diatur dalam PKPU 3 Tahun 2022, penetapan partai politik peserta pemilu tahun 2024 akan dilaksanakan pada 14 Desember 2022.      Berdasarkan data KPU RI, Pemohon username dan password akun Sipol terakhir pada 12 Juli 2022 pukul 17.00 WIB adalah 38 partai politik calon peserta pemilu dan 7 Partai politik lokal calon peserta pemilu di Aceh. Data tersebut masih sementara dan masih memungkinkan untuk bertambah. Hasil sosialisasi terbaru, Sipol sekarang tentu sudah berbeda dengan yang dipakai tahun 2019, banyak menu tambahan baru, lebih komperehensip dan kapasitasnya juga telah di upgrade. Catatan penting buat partai adalah menyiapkan SDM yang paham dengan IT, sehingga akan mempermudah dalam mengikuti proses peng-inputan. Meskipun masih menjadi alat bantu, namun Sipol menjadi sangat penting untuk proses digitaliasi dan efisiensi dalam proses pendaftaran partai politik. Tiga jenis dua perlakuan Pendaftaran partai politik, tidak terpisahkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak beberapa permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satunya uji materi tersebut diajukan empat partai nonparlemen, yakni Partai Berkarya, Partai Perindo, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Mahkamah menilai pokok permohonan yang diajukan, yaitu Pasal 173 terkait verifikasi partai calon peserta pemilu sama dengan perkara yang sudah pernah diputus MK dalam putusan nomor 55/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut menyatakan bahwa partai politik yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan memenuhi ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) tetap diverifikasi secara administrasi, tetapi tidak diverifikasi secara faktual. Sementara partai yang tak lolos ambang batas dan partai baru akan diverifikasi administrasi dan faktual. Maka dengan putusan tersebut ada tiga kategori partai, dan ada dua jenis perlakuan. Hal ini juga dipertegas pada PKPU No.4 tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, pasal 6 Bab Kategori Partai Politik Calon Peserta Pemilu.  Ketiga kategori partai tersebut adalah pertama, partai yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 dan memenuhi ambang batas parlemen berdasar hasil Pemilu 2019 lalu; kedua, partai yang telah lolos verifikasi Pemilu 2019 namun tidak memenuhi ambang batas parlemen berdasarkan hasil Pemilu 2019 lalu; dan ketiga, partai yang tidak lolos verifikasi pada Pemilu 2019 lalu dan partai baru. Sedangkan dua jenis perlakuan berbeda adalah, pertama, partai yang hanya dilakukan verifikasi adminsitrasi. Yang mendapat perlakuan ini adalah partai dengan kategori pertama sebagaimana disebutkan di atas. Kedua, partai yang dilakukan verifikasi administrasi dan faktual. Yang mendapatkan perlakuan ini adalah partai kategori kedua dan ketiga sebagaimana disebutkan di atas. Tantangan dalam Verifikasi Sejarah verifikasi untuk pemilu tahun 2019 tentu menjadi pengalaman terdekat. Banyak pelajaran yang bisa diambil. Ada 4 partai yang hanya mengajukan username Sipol dan 11 partai yang tidak lolos verifikasi. Hasilnyapun ada 7 partai yang tidak lolos ambang batas parlemen atau 9 partai yang masuk parlemen dari 16 partai politik. Hal ini tentu menjadi potret proses perjuangan partai sebagai bahan evaluasi dan tantangan untuk menyongsong pemilu 2024.  Sesuai Undang-undang Pemilu No 7/2017 dan PKPU No 4/2022 maka pertama; partai harus berstatus badan hukum. Tentu ini relatif ringan, prinsipnya pemenuhan administrasi dan mendaftarkannya di Kemenkumham. Persyaratan kedua; adalah mempunyai kepengurusan 100% diseluruh Provinsi. Meskipun sudah di tetapkan ada penambahan Provinsi baru di Papua, tetapi menurut penjelasan KPU RI tidak masuk dalam persyaratan kepengurusan partai di tinglat Provinsi yang baru. Artinya KPU RI hanya akan mensyaratkan kepengurusan partai di 34 Provinsi di Indonesia. Ketiga adalah memiliki kepengurusan di 75% Kabupaten/Kota dalam Provinsi. Kepengurusan ini tentu juga perlu usaha yang cukup keras bagi mesin partai baru ataupun partai yang tidak lolos ambang batas parlemen atau wakil di RI. Contoh saja di Provinsi Jawa Tengah, maka partai harus punya kepengurusan di 27 kabupaten/kota. Keempat adalah mempunyai kepengurusan 50% Kecamatan di kabupaten/kota tersebut. Kedalaman ini tentu juga sangat membutuhkan effort yang luar biasa bagi mesin politik baru. Jangan sampai ini hanya kepengurusan fiktif sehingga dalam verifikasi faktual ternyata tidak ditemukan dan menjadi Tidak Memenuhi Syarat (TMS).  Kelima; adalah afirmatif action untuk kesetaraan gender dengan menyertakan kepengurusan partai paling sedikit 30% perempuan. Minimnya kader perempuan yang peduli dengan politik, poin ini sering menjadi kendala partai politik untuk mendapatkan kader perempuan. Sehingga seringkali hanya sebagai formalitas dan pemenuhan administrasi saja. Maka seharusnya partai sebagai agen kaderisasi dari awal sudah memperhatikan hal tersebut sehingga pemenuhan quota perempuan ini benar-benar siap bukan hanya kepengurusan tapi juga sebagai calon legislatifnya. Keenam; ini yang sangat menguras energi dan perhatian semua pihak yaitu menyangkut keanggotaan. Partai harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kab/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA). Dua masalah yang akan muncul, pertama: keanggotaan ganda, yaitu 1 orang menjadi anggota partai politik A dan B sekaligus. Kedua; isu keanggotaan adalah pencatutan nama orang sebagai anggota partai politik tertentu. Setelah di verifikasi faktual, ternyata orang tersebut tidak tahu jika namanya masuk dalam partai tersebut. Dua hal ini selalu menjadi isu yang tak pernah lekang setiap jelang pemilu dan seyogyanya menjadi perhatian partai politik. KPU RI juga sudah menyampaikan untuk mengecek keanggotaan ganda, tahun ini KPU akan memaksimalkan penggunaan Sipol. Penggunaan Sipol akan dioptimalkan ketika pendaftaran yang dilakukan secara sentralistik di KPU RI, sehingga partai tidak perlu menyerahkan dokumen di tingkat kabupaten/kota. Ketujuh, partai harus mempunyai kantor tetap dari pusat sampai kabupaten/kota sampai akhir tahapan pemilu. Kedelapan; menyerahkan nama, lambsang dan gambar partai politik. Terakhir kesembilan yaitu menyerahkan rekening atas nama partai. ***


Selengkapnya
503

SUARA TAK SAH DAN KERENGGANGAN RELASI KANDIDAT - PEMILIH

Abd. Rohim, S.Sos Penulis adalah Komisioner KPU Kota Salatiga Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat, Pendidikan Pemilih dan SDM   Pemilu serentàk 2019 sudah usai. Semua tahapan dilalui dengan sukses. Berbagai pihak mengapresiasi baik di dalam maupun luar negeri. Pemilu berjalan damai, partisipasi pemilih tinggi dan jumlah sengketa pemilu rendah. Partisipasi secara nasional di atas 82 persen, melampaui target 77,5 persen. Capaian ini diikuti angka partisipasi di mayoritas daerah yang rata-rata di atas 80 persen. Kota Salatiga ada di angka partisipasi tertinggi di Jawa Tengah. Untuk pemilu presiden dan wakil presiden partisipasi pemilih (87,91 persen), DPR RI (87,85 persen), DPD (87,81 persen), DPRD provinsi (87,51 persen) dan DPRD Kota Salatiga (87,40 persen). Ada lima jenis pemilihan dengan lima surat suara pada pemilu 2019 yang diterima pemilih, kecuali bagi pemilih pindahan yang masuk kategori daftar pemilih khusus (DPK), maka ada ketentuan jumlah surat suara yang diterima. Fenomena yang terjadi adalah persentase surat suara yang tidak sah sangat bervariatif dan ada perbedaan yang mencolok. Data di KPU Kota Salatiga menunjukkan surat suara tidak sah untuk pemilihan presiden dan wakil presiden rendah, hanya 2,15 persen, tetapi surat suara tidak sah untuk pemilihan DPD cukup tinggi, 24,10 persen. Surat suara tidak sah untuk pemilihan DPRD Kota Salatiga hanya 4,65 persen, tetapi untuk pemilihan DPR RI mencapai 13,53 persen, pemilihan DPR provinsi 16,69 persen. Kecenderungan ini serupa dengan yang terjadi di kabupaten/kota lain. Secara nasional, surat suara tidak sah untuk pemilihan presiden dan wakil presiden sebesar 2,38 persen dan di Provinsi Jawa Tengah 2,71 persen. Sementara surat suara tidak sah untuk pemilihan DPD Provinsi Jawa Tengah mencapai 26,52 persen. Kalau diperingkat sesuai urutan jumlah surat suara tidak sah dari yang tertinggi adalah DPD, DPR provinsi, DPR RI, DPRD kabupaten/kota, lalu pemilihan presiden dan wakil presiden. Mengapa ada jenis surat suara tak sah rendah dàn ada yang tinggi? Apakah ketika pemilih datang di tempat pemungutan suara (TPS) tahu akan mendapatkan lima surat suara? Apakah mereka kesulitan tata cara mencoblos? Apakah mereka tidak tahu atau kebingungan harus memilih caleg yang mana dari partai apa? Atau mereka datang ke TPS hanya ingin memilih salah satu jenis pemilihan, sehingga surat suara yang lain sengaja dirusak dan menjadi tidak sah? Pertanyaan-pertanyaan soal perilaku pemilih dalam pemilu 2019 ini menjadi diskursus tersendiri.  


Selengkapnya
506

SUKSES BADAN ADHOC KPU KOTA SALATIGA PADA PEMILU 2019

Oleh Abd Rohim (Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM KPU Kota Salatiga) Pemilu serentak 2019 telah usai. Terlepas dari kekurangan di sana-sini, prestasi melekat pada penyelenggara pemilu 2019. Hal ini mematahkan pesimisme awal sebagian pengamat dan pemerhati pemilu. Seperti yang pernah disampaikan oleh pakar pemilu Ramlan Surbakti, guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga. “Inilah pemilu borongan khas Indonesia dan tidak ada di dunia pemilu segila di negeri ini,” kata Ramlan. (Kompas.com edisi 13 September 2017). Penulis akan menyampaikan gambaran strategi teknis yang dilakukan KPU Kota Salatiga kepada tenaga adhoc pada pemilu serentak 2019. Strategi ini dalam rangka membantu tenaga adhoc untuk suksesnya pemilu dan terbukti berhasil. Salah satu kriterianya adalah, pemilu di Salatiga berjalan dengan aman, selesai sesuai tahapan, minimnya penyelenggara yang sakit dan tak ada yang meninggal dunia. Data penyelenggara pemilu adhoc KPU Kota Salatiga adalah 4.383 orang, terdiri atas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) 16 orang, Panitia Pemungutan Suara (PPS) 69 orang dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 4.298 orang serta petugas ketertiban Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau linmas sebanyak 1.228 orang. Dari jumlah tersebut yang mengalami sakit ringan sebanyak 5 (lima) orang dari unsur KPPS dan tidak ada yang meninggal dunia. Hal ini cukup baik karena sebagaimana kita ketahui pada penyelenggaraan pemilu 2019, menurut data KPU RI ada sekitar 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit (disampaikan Ketua KPU RI Arief Budiman dalam acara Refleksi Pemilu 2019 dan dilansir Kompas.com – 22/01/2020).    


Selengkapnya