TEO-DEMOKRASI: FENOMENA DEMOKRASI (MODEL) REPUBLIK ISLAM IRAN

Penguasa yang sejati bukanlah orang yang memerintah sedemikian rupa sehingga berdamai dengan iktikad baik rakyatnya, juga bukan orang yang memerintah dengan menghormati hukum. Penguasa sejati adalah orang yang tahu bagaimana memerintah. Pengetahuan seperti itu terlalu tinggi bagi banyak orang. Dan demokrasi tidak dan tak dapat mengetahui apapun tentang memerintah dan berkuasa.”(Plato 427 – 347 SM).

 

Di tengah gejolak politik dan konfrontasi memanas dengan Israel saat ini, dengan saling serang dalam skala yang besar, saya coba membincang tentang suatu negara yang dalam Sejarah peradaban bangsa-bangsa pernah menjadi sebuah negara adikuasa pada ribuan tahun yang lalu, yakni bangsa Persia, dan sekarang orang menyebutnya Iran. Bangsa Persia merupakan bangsa besar yang mempunyai pesaing kuat diantaranya Bangsa Mesir, Bangsa Babilonia, Bangsa Yunani, hingga Bangsa Romawi. Kalau teman pemilih pernah melihat film ‘300 Spartans’ tentang Raja Leonidas (dibintangi oleh Gerard Butler) seorang Panglima Yunani yang berperang melawan Bangsa Persia yang dipimpin oleh Raja Xerxes dengan ratusan ribu pasukan tempurnya yang cukup sengit. Raja Xerxes memiliki pasukan yang cukup banyak jumlahnya dan terdiri dari berbagai armada perang, salah satunya adalah gajah perang. Menjadi Gambaran betapa besar dan kuatnya kekuatan perang Persia hingga pada akhirnya membuat Leonidas dan tentara Sparta-nya menyerah.

Dalam masa ribuan tahun setelahnya, kekuasaan silih berganti, dengan melemahnya kekuasaan Persia, hingga kedatangan Kekuatan politik baru dari Semenanjung Arab Islam menaklukkan Persia. Dan dataran Persia dihampir seluruh wilayahnya jatuh dalam kekuasaan Kekhalifahan Islam.

Iran dan Syi’ah

Membicarakan Iran tanpa menyinggung Madzhab Syi’ah adalah sangat tidak mungkin. Karena rentetan Sejarah Panjang yang melatarinya. Hal tersebut seperti dua sisi mata uang. Persepsi orang pada umumnya pun akan menunjuk negara dengan mayoritas penganut madzhab Syi’ah adalah Iran, baru kemudian Irak, serta Lebanon, dan beberapa negara disekitarnya meski dengan prosentase jumlah yang minor. Untuk mempermudah bahasan ini, ada beberapa hal penting yang secara umum saja akan dibahas dalam tulisan ini. Kita akan memotret Iran dengan sederhana saja. Sebelum membahas mengenai demokrasi ‘ala’ Iran, ada beberapa hal penting yang perlu dibahas, untuk mempermudah memotret negeri para Mullah ini,

Pertama, Sejarah Persia (Iran), banyak literatur dan catatan-catatan Sejarah menggambarkan betapa besar dan super-powernya bangsa Persia kala itu. Kekuatan Persia hanya dapat ditandingi oleh Bangsa besar lainnya macam bangsa Yunani, Romawi, Mesir, hingga bangsa Babilonia. Semua bangsa ini pernah merasakan kehebatan bangsa Persia. Di dataran ini telah lahir berbagai peradaban dan Kerajaan/Dinasti besar mulai dari Persia, Sasanid, Safawi, hingga Dinasti Qajar. Nah, Iran itu menurut Sejarah, asal kata dari Aryan, yang berarti orang-orang Arya.

Kedua, Syi’ah. Dalam Sejarah Islam, Syi’ah ini bukan aliran/madzhab yang lahir bulan kemarin. Ia sudah berumur ribuan tahun. Titik kemunculannya adalah seputar kepemimpinan (khalifah) pasca Nabi Muhammad SAW meninggal. Secara mayoritas mendukung Abu Bakar Ash Shidiq menjadi khalifah, dan beberapa sahabat mendukung Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Mereka yang mendukung Ali inilah disebut sebagai Syi’ah. Nah, Syi’ah ini berkembang menjadi puluhan kelompok, tapi ada tiga kelompok besar yang sampai hari ini masih eksis yakni Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah Itsna Asyariyah. Yang terakhir inilah menjadi madzhab keagamaan resmi di negara Iran. Di dalam Syi’ah ada lima dasar syari’at yang penting (Ushulul Khamsah) yaitu Tauhid, Kenabian, Imamah, Keadilan, dan Hari Akhir (Eskatologi).

Ketiga, Imamah. Masalah tentang Imamah merupakan hal yang sentral dalam tradisi ajaran Syi’ah. Membicarakan negara Iran hari ini tanpa membicarakan tentang Imamah adalah hal yang mustahil. Imamah dalam pandangan Syi’ah merupakan washi atau yang di-wasiati. Bagi keyakinan Syi’ah, Nabi SAW telah menetapkan dengan tegas Ali bin Abi Thalib sebagai washi-nya, dan Ali mewasiatkan kepada putranya Hasan, kemudian Hasan mewasiatkan pada saudaranya yakni Imam Husein, demikian seterusnya sampai kegaiban Imam yang kedua belas yang dinantikan kedatangannya. Para Imam ini tidak mendapatkan wahyu seperti halnya Nabi, tapi mereka menerima hukum-hukum dari Nabi Muhammad SAW. Imam bertindak sebagai pemimpin agama dan negara sekaligus.

Keempat, Wilayah Faqih. Karena perlunya pemerintahan Islam di zaman ‘gaib’-nya sang Imam, perlu ada pemegang kekuasaan yang menerapkan hukum-hukum ilahiah, semua tanggung jawab dan kekuasaan lain Nabi berpindah ke ulama, dengan pengecualian hak Istimewa menerima wahyu Ilahiyah. Konsep Wiayah Faqih ini dirumuskan oleh Ayatullah Imam Khomeini, tokoh besar Revolusi Islam Iran tahun 1979.

Kelima, Ayatullah Imam Khomeini. Dialah sang inisiator Negara Republik Islam Iran hari ini. Tokoh besar dalam Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah bukti pengaruhnya yang luar biasa. Dari pengasingannya di Prancis, ia menyebarkan makalah-makalahnya tentang perjuangan dan semangat revolusioner dalam melawan kediktatoran rezim Pahlevi. Konsep Wilayah Faqih, merupakan gagasannya, sebuah bentuk pemerintahan dibawah naungan spirit dan nilai-nilai keagamaan serta bimbingan para ahli (faqih) yang berpengetahuan luas serta moralnya terpuji.

Beberapa point diatas merupakan hal penting dalam memahami hal-hal pokok dalam memotret negara Republik Islam Iran. Boleh jadi, kelima hal diatas tidak bisa terlewatkan. Iran yang hari ini berkonfrontasi dengan Israel, adalah negara yang diembargo sejak tahun 1980, tepatnya setahun setelah Revolusi besar di negara ini, sampai hari ini.

Iran sebelum Revolusi Islam

Sebelum Revolusi terjadi di Iran tahun 1979, negara ini merupakan negara dengan system monarki, Rajanya bergelar Syah. Kendati awalnya negara ini adalah negara monarki konstitusional, tapi pada 1953 berubah menjadi monarki absolut. Rentang antara tahun 1963 hingga 1975, di Iran terdapat dua partai politik, yakni Partai Iran Novin dan Partai Mordom. Partai Iran Novin merupakan Partai-nya pemerintah, sementara Partai Mordom merupakan partai oposisi loyal. Baik Iran Novin maupun Mordom, kedua-duanya merupakan bentukan rezim Syah.

Pada 1975, Syah membubarkan kedua partai (Iran Novin dan Mordom) tersebut, dan membentuk partai baru yang bernama Partai Rastakhiz (Partai Kebangkitan). Partai ini menjadi satu-satunya partai yang diberikan keleluasaan dan diberikan hak hidup dibawah pemerintah. Tepatnya, sejak tahun 1975 hingga 1977, Iran menganut system partai Tunggal.

Ditengah demonstrasi besar anti-Syah pada 1978, pemerintah mengizinkan dibentuknya partai-partai lain, selain dari partai bentukan Syah. Terdapat juga sejumlah organisasi politik yang bergerak dibawah tanah, Jebhe-e-Melli (Front Nasional) dan Partai Tudeh (Komunis).

Meskipun sebelum Revolusi Islam terdapat parlemen, pemerintah dan partai politik di Iran, Syah menjadi kekuatan politik yang paling dominan. Ia bisa dengan sekehendak hatinya membubarkan parlemen, pemerintah, maupun partai politik. Namun, ditepian lain terdapat kekuatan politik cukup potensial, yang kelak dapat menggantikan posisi syah sebagai kekuatan politik dominan. Para Mullah (ulama Islam Syi’ah) di Iran membangun basis kekuatan melalui masjid, sekolah kegamaan. Pada tahun 1978 hingga 1979, mereka menjadi motor penggerak bagi demonstrasi anti-syah yang berhasil menumbangkan kekuasaan Syah Reza Pahlavi.

Iran setelah Revolusi Islam

Setelah Syah Reza Pahlevi ditumbangkan dalam sebuah Revolusi Islam yang dimotori oleh para Mullah, dalam hal ini Ayatullah Khomeini. Sistem pemerintahan di Iran adalah Republik yang didasarkan pada wilayah al faqih, yang digagas oleh Ayatullah Khomeini. Bagi Khomeini, para ulama tidak hanya akan memegang kekuasaan legislative dan yudisial, melainkan juga eksekutif. Ulama memegang kekuasaan tertinggi, para ulama khususnya para ahli hukum Islam, diberi Tuhan wewenang untuk menerapkan syari’ah.

Konsepsi dasarnya ada pada ajaran Islam Syi’ah sendiri, seperti yang disampaikan oleh Imam Shadiq ketika beliau ditanya, “Mungkinkah Allah membiarkan suatu Masyarakat tanpa pemimpin? Dan ia menjawab, “Tak mungkin.” Bagi Muslim Syi’ah, Kenabian berakhir pada Nabi Muhammad SAW, tetapi kepemimpinan umat dan agama di wasiatkan kepada para Imam, dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan, Imam Husein, hingga Imam Muhammad bin Hasan yang ‘ghaib’. Peran mujtahid disini adalah mengambil alih peran untuk meneruskan kepemimpinan umat, setelah keghaiban Panjang dari Imam ke -12. Urutan sederhananya ialah Nabi, diwasiatkan ke Imam, karena kegaiban Panjang, peran itu diambil alih oleh Mujtahid (Imam Khomeini, Imam Ali Khamenei).

Peran Wilayah Faqih

Gagasan tentang wilayah faqih merupakan eksperimentasi Imam Khomeini dalam Menyusun konsep negara setelah pasca Revolusi Islam Iran. Ia berpendapat bahwa Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum, yang berkenaan dengan masalah-maslah social, yang musti dilaksanakan oleh setiap muslim sebagai suatu kesatuan social. Maka untuk melaksanakan kekuasaan itu supaya efektif, diperlukan kekuasaan eksekutif.

Wacana modern negara Islam bagi Khomeini yakni penegasannya bahwa esensi negara itu bukan konstitusinya, pada kenyataannya juga bukan pada komitmen penguasanya untuk mengikuti syari’ah (hukum/aturan), namun kualitas khusus pemimpinnya. Menurut Khomeinikualitas khusus ini hanya dapat dipenuhi oleh faqif. Kualifikasi seorang faqih yang niscaya adalah faqahah, berpengetahuan (tahu tentang ketentuan dan aturan Islam), selanjutnya ‘adalah bersifat adil, yakni terpuji iman dan moralnya.

Karena pemerintahan Islam merupakan pemerintahan hukum, maka mengetahui hukum menjadi keharusan bagi penguasa. Pengetahuan itu sangat perlu, tidak saja bagi penguasa, tetapi juga bagi siapapun yang memegang jabatan atau melaksanakan fungsi pemerintahan. Intinya, penguasa haruslah berpengetahuan dibanding orang lain. Dan yang tidak kalah penting penguasa tidak hanya mengurusi soal-soal politik, tidak hanya mengurusi soal penerapan hukum. Penguasa mengurusi segala yang berkenaan dengan hukum, termasuk pengetahuan tentang hukum dan integritas hakim.

Konstitusi Republik Islam Iran 1979 menjadi satu-satunya undang-undang dasar didunia yang secara cukup eksplisit mencantumkan konsep wilayah al faqih. Pasal 107 Konstitusi Iran 1979 secara prinsip melegalkan Ayatullah Khomeini sebagai wilayat al faqih, marja’ taqklid terkemuka dan pemimpin revolusi. Nah, kecakapan pemimpin atau dewan kepemimpinan menurut pasal 109 adalah

  1. Memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan Kebajikan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengeluaran fatwa.
  2. Berwawasan social, berani, berkemampuan, dan mempunyai cukup keahlian dalam hal pemerintahan.

Tugas dan kekuasaan Wilayah Faqih adalah menunjuk fukaha pada dewan perwalian, memiliki wewenang pengadilan yang tertinggi, mengangkat dan memberhentikan panglima tertinggi Angkatan bersenjata dan pasukan pengawal revolusi Islam, menyatakan keadaan damai dan perang, menyetujui kelayakan calon-calon Presiden, dan memberhentikan Presiden Republik Islam Iran berdasarkan pada rasa hormat terhadap kepentingan negara.

Lalu bagaimana pemilihan presiden di Republik Islam Iran? Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun, dan setelahnya, dan kemudian dapat dipilih Kembali untuk periode berikutnya, mirip dengan yang ada di Indonesia dalam hal masa jabatan Presiden. Perbedaannya masalah waktu, kalau di Iran satu periode empat tahun, di Indonesia satu periode lima tahun. Dalam kurun waktu 43 tahun setelah Revolusi Islam Iran, ada delapan presiden yang sudah terpilih.

Setelah 44 tahun berdirinya Republik Islam Iran, dimulai sejak tahun 1979 sampai hari ini baru ada dua Ulama terkemuka Syi’ah yang berhasil menduduki tahta sebagai wilayah al faqih, sebagai pemimpin spiritual tertinggi Iran, yakni Ayatullah Ruhullah Khomeini (3 Desember 1979 hingga 3 Juni 1989) dan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei (dimana beliau menjabat mulai 4 Juni 1989).

Dari berbagai penjelasan di atas dalam memotret model demokrasi model Republik Islam Iran, bahwa sejatinya konstitusi negara tersebut memberikan wewenang tertinggi dan terakhir pada Wilayah al Faqih. Baik Presiden, Parlemen, meskipun dipilih langsung oleh rakyat, adalah lemabaga-lembaga kantor al Faqih. Bagi Antony Black, konstitusi Republik Islam Iran ini merupakan fenomena yang unik dalam Sejarah Islam dan bahkan Sejarah dunia. Dimana letak keunikannya? Yakni terletak pada Upaya penyusunnya yang memadukan tiga macam teori konstitusi klasik Yunani-Eropa, dengan merujuk pada pemerintahan oleh satu orang, oleh beberapa orang bijak, dan oleh rakyat. Secara normative konstitusi tersebut telah berhasil mencapai tujuannya untuk memadukan agama dengan politik. Salam Demokrasi. (WAHYU BUDI UTOMO/ANGGOTA KPU KOTA SALATIGA)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 269 Kali.