PILKADA SERENTAK 2024: REFLEKSI PELAKSANAAN DEMOKRASI DI TINGKAT LOKAL

Pendahuluan

Pemilihan kepala daerah serentak telah terlaksana pada tanggal 27 November 2024. Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD Propinsi Jawa Tengah pada 7 Februari 2024, dengan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Ahmad Luthfi dan Taj Yasin. Sedangkan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga terpilih yaitu Robby Hernawan dan Nina Agustin telah juga ditetapkan pada rapat paripurna DPRD Kota Salatiga pada 16 Januari 2024.

Tahapan  pemilihan 2024 yang dilaksanakan beririsan dengan  tahapan Pemilu 2024 bersamaan dengan tahapan persiapan saat penyusunan PKPU, pemutakhiran data pemilih dan pembentukan badan ad hoc pilkada terjadi pada masa tahapan Pemilu masih berlangsung. Hal ini tentunya dibutuhkan “stamina” dan integritas tinggi penyelenggara pemilu. Dinamika politik yang terjadi secara dinamis, merubah aturan-aturan pilkada di tengah tahapan yang sedang berlangsung. Perubahan-perubahan regulasi itu dapat ditemukan terutama pada tahap pencalonan, yang mana dahulu ambang batas diatur 20 % kursi dimiliki oleh parpol atau gabungan parpol dan 25 % pemilik suara sah pada parpol dan gabungan parpol dalam pemilu terakhir, berhak untuk mengusung calon kepala daerah. Aturan ini diubah dengan prosentase suara sah pada DPT di daerah pemilihan , merujuk pada ketentuan PKPU 8 tahun 2024. Dan perubahan pada batas usia calon pada amar putusan MK yang menghitung batas minimal usia calon dihitung pada saat penetapan pasangan calon. Begitu juga dinamika politik yang terjadi dari tingkat atas ke bawah, yang sempat merubah peta dukungan pencalonan walikota dan wakil walikota di Salatiga.

Dalam hal perekrutan badan ad hoc, terutama KPPS, terkait dengan batas usia dan standard pendidikan minimal yang diharuskan. Begitu juga pada saat bimtek berjenjang bagi badan adhoc dalam hal pemungutan dan penghitungan suara yang belum muncul PKPU pada saat ToT bagi PPK dan PPS sebagai dasar dalam materi Bimtek, dan juga bimtek bagi para badan ad hoc KPPS tanpa buku panduan yang ready pada saat pelantikan atau ready dalam waktu yang masih jauh dari hari-H pelaksanaan pungut hitung.

Hal demikian menjadi tantangan tersendiri bagi persiapan pilkada di Salatiga, baik pada Proses pemungutan dan penghitungan suara hingga rekap di tingkat atas, serta peran Pemerintah Kota dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kota Salatiga. Munculnya anggapan bahwa KPU Kota Salatiga kurang dalam melakukan Sosialisasi dalam Pilkada Serentak kemarin.

Dinamika proses dalam pelaksanaan Pilkada Serentak tahun 2024 kemarin akan direfleksikan oleh penulis terutama pada kontestasi pemilihan kepala daerah walikota dan wakil walikota di Salatiga.

 

Refleksi   

            KPU kota sebagai pelaksana penyelenggara pemilihan di tingkat kota, dihadapkan pada situasi-situasi seperti yang telah disebut di atas. Pelaksanaan tahapan-tahapan pada pemilihan kepala daerah 2024  di Kota Salatiga berlangsung cukup kondusif. Proses pencalonan dapat dilewati dengan baik, meskipun terjadi perubahan dukungan dari salah satu parpol pada salah satu paslon pada saat hari H pendaftaran. Proses pelaporan dana kampanye pada tahap LADK, PLSDK dan LPPDK juga dinyatakan patuh oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk. Hanya saja sedikit kritikan, bahwa dalam isi pelaporan LPSDK, semua paslon melaporkan tetapi nihil sumbangan, seperti terasa mustahil jika dalam kontestasi mereka tidak menerima sumbangan apapun bentuk dan jumlahnya. Juga tidak ada  system untuk men ceck apakah laporan dana kampanye benar-benar mencerminkan semua kegiatan kampanye yang dilakukan (sinkronisasi dengan STTP yang dikeluarkan dari kepolisian).

            Proses bimbingan teknis dalam bentuk training of trainers bagi PPK dan PPS yang nantinya akan menjadi “pelatih” bagi KPPS terbentur pada PKPU dan juknis yang belum terbit. KPU dan jajarannya melakukan TOT itu berdasarkan PKPU terakhir. Ketidak pastian regulasi ini cukup memberikan stressing tersendiri pada pelaksana badan ad hoc. Disinilan KPU dan jajaran di bawahnya terbukti mampu bekerja di bawah tekanan dan perubahan yang dinamis. Pada saat mereka harus memberikan TOT bagi KPPS, PKPU dan juknis telah siap untuk dikonsumsi sebagai resep dalam tempo yang sangat singkat. Perubahan regulasi otomatis merubah petunjuk teknis di lapangan, yang biasanya begini menjadi begitu. Pemahaman akan denah TPS seperti yang sudah-sudah, harus kembali belajar menyesuaikan dengan denah baru, sesuai tuntutan pengawasan.  

            Tekanan psikologis dalam proses pemungutan dan penghitungan suara terjadi manakala para KPPS harus mengutamakan koordinasi dan mengambil keputusan- keputusan di luar dugaan. Pada rekapitulasi Tingkat kecamatan, tuntutan saksi di salah satu pihak meminta dibuka ulang kebenaran jumlah surat suara tidak sah di beberapa TPS tertentu, menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaksana di badan ad hoc. Sekali lagi, KPU dan jajarannya diminta untuk profesional dan taat aturan.

            Peran serta pemangku wilayah sangat penting dalam lancarnya gawe besar ini, hanya saja ada beberapa bagian dari mereka meminta hasil hitung cepat di tiap-tiap TPS. Sementara KPU tidak menerapkan sistem hitung cepat. Keteguhan para penyelenggara di tingkat bawah hingga tingkat kota mengalami ujian pada fase ini. KPU menerima surat permohonan data hitung cepat di tiap TPS, dan dalam surat tersebut, diberikan link untuk dapat diisi oleh jajaran KPPS. Tentunya menjadi pertimbangan KPU Kota Salatiga manakala link tersebut diisi, maka data angka tersebut akan otomatis merekap, sementara tahapan rekap di tingkat PPK belum dilaksanakan.

            Proses perhitungan suara pada pemilihan serentak tahun 2024 mencerminkan tingkat partisipasi 78,89 %. Turun dari prosentase pemilihan tahun 2017 sebesar 82,60%. Persoalan sosialisasi menjadi tantangan dan sekaligus ada problem kendala di sini. Problem yang muncul salah satu nya adalah pembatasan tempat pemasangan APK yang mana muncul dalam keputusan KPU nomer 529 tahun 2024 tentang lokasi pemasangan APK. SK KPU tersebut merupakan hasil rapat koordinasi bersama para pemangku wilayah yang mana juga didasari oleh Perwali nomer 15 tahun 2018 tentang Pedoman Penggunaan Barang Milik Daerah dan Pemasangan Alat Peraga Kampanye, dan Penyebaran Bahan Kampanye pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah . Para peserta kontestasi pilkada terhambat oleh larangan/ pembebasan area pemasangan APK berdasarkan keputusan tersebut, bahkan termasuk APK yang difasilitasi KPU sendiri, sehingga para peserta tidak mendapatkan keleluasaan ruang untuk mengkampanyekan paslon nya. Sekitar 53 titik area yang cukup detil menjadi pusat larangan pemasangan APK di Kota Salatiga.

Sehubungan dengan problem tersebut, KPU Kota Salatiga telah melakukan koordinasi dengan pemerintah kota untuk membahas ulang aturan tersebut yang nantinya segera dibuatkan Perda/Perwali yang baru, supaya tidak mempersempit ruang gerak para peserta pemilu/pemilihan di masa yang akan datang.

Refleksi ini juga ingin melihat persoalan menurunnya tingkat partisipasi yang lain disinyalir  tentang perolehan surat suara tidak sah yang terjadi di pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga. Hal ini sempat di pertanyakan juga mengenai bagaimana KPU memberikan sosialisasi teknis pencoblosan.

            KPU melalui KPU propinsi memberikan instruksi untuk memulai menginventarisir surat suara tidak sah tersebut. Ditemukan 8.763 surat suara tidak sah dari 118.867 total suara yang hadir ( 7,37%) di kancah pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Salatiga 2024. Terdapat rincian data tersebut, terinventarisir sejumlah 4.934 diberikan lebih dari 1 coblosan; 395 dicoblos di luar kolom; 412 dicoblos 1 tapi di luar kolom; 6 mencoret-coret surat suara; 0 diberi tanda dengan dibakar; 2955 tidak dicoblos; dan 61 lain-lain (ditempel gambar lain).

Fenomena surat suara tidak sah ini , dijelaskan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena sosialisasi teknis pencoblosan yang kurang, kualitas pada desain surat suara, dan faktor non teknis seperti protes pemilih pada kandidat calon. Untuk hasil yang telah diinventarisir di Salatiga, oleh forum diskusi bersama Bawaslu dan para pegiat pemilu,  disimpulkan bahwa persoalan kesengajaan dan kekecewaan pada kandidat lebih tersirat dalam hal ini. Serta  juga berdasarkan pengalaman mengamati pola-pola pemilih di Kota Salatiga. Sayang untuk menilai kriteria surat suara tidak sah ini, tidak juga dilakukan pada surat suara tidak sah yang terjadi pada pemilihan Gubernur. Jika inventarisir ini dilakukan juga, akan lebih obyektif untuk menganalisa dari 2 jenis pemilihan ini, dan kecenderungan penilaian dan analisis dapat lebih tajam menyimpulkan.

Demikianlah refleksi dalam proses penyelenggaraan pemilihan serentak di Kota Salatiga. Tiap keberhasilan semoga menjadi catatan untuk ditingkatkan. Dan berbagai evaluasi harus menjadi catatan penting untuk diperbaiki di masa yang akan datang, demi demokrasi yang lebih baik.

(DEWI RETNOWATI-ANGGOTA KPU KOTA SALATIGA)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 127 Kali.