MENCARI SOLUSI KAMPANYE SARA DALAM PEMILU DAN PEMILIHAN

Selasa (12/10/2021) KPU RI menggelar webinar bertajuk Modus Operandi dan Solusi Kampanye SARA dalam Pemilu dan Pemilihan. Webinar ini adalah seri ke 6 dari 7 seri rangkaian webinar Desa Peduli Pemilih dan Pemilihan.

Dalam sambutannya, Ilham Saputra, Ketua KPU RI menyampaikan bahwa webinar ini berangkat dari pengalaman bahwa selama ini Pemilu dilaksanakan dalam persaingan yang penuh kebencian dan mengangkat isu SARA, bukan dalam persaingan visi misi kandidat. “Sebagai penyelenggara pemilu, KPU memiliki peran strategis untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kampanye SARA itu salah” tandasnya.

Menyambung sambutan Ketua KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyampaikan bahwa berdasarkan evaluasi KPU, potensi terjadinya kampanye SARA di negara yang terdiri dari beragam suku, agama, dan budaya ini tinggi. Oleh sebab itu pendidikan pemilih untuk mencegah diangkatnya isu SARA adalah hal yang penting.

Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini adalah Kris Nugroho (Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga), Valina Singka Subekti (Pakar Ilmu Politik UI), Bambang Gunawan (Direktur Informasi Komunikasi dan Politik, Hukum, dan Keamanan Kemenkominfo), dengan moderator Maya Karim (Jurnalis).

Kris Nugroho menyampaikan bahwa isu SARA dijadikan instrument untuk menggerakkan sentimen politik dan membangun demokrasi dengan pihak lain. Berdasarkan hasil penelitiannya, kampanye SARA adalah akibat dari faktor kompetisi yang zero sum, sehingga cara yang efektif untuk memobilisasi massa adalah dengan menggunakan isu komunal. Ditambah lagi, kelembagaan partai yang lemah digantikan oleh loyalitas pemilih kepada figur dan simbol sentimen politiknya. 

Sependapat dengan Kris, Valina menyampaikan bahwa perubahan desain kelembagaan demokrasi di Indonesia pasca amandemen konstitusi menjadikan kompetisi dalam pemilu menjadi semakin sengit,  “karena memilih orang, bukan partai, maka kompetisi menjadi semakin sengit. Apapun akan dilakukan untuk memperoleh kemenangan”.

Dalam Pemilu Presiden, fenomena yang samapun terjadi. Adanya presidential threshold menjadikan semakin terbatasnya jumlah pasangan calon sehingga memicu polarisasi masyarakat. Identifikasi “aku” dan “kamu” memicu sentiment politik berbasis SARA, bukan lagi pilihan rasional. Lebih lanjut Valina mengungkapkan faktor lain mengemukanya SARA adalah adanya revolusi digital, kondisi masyarakat yang illiterate, dan rendahnya tingkat sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Selaku narasumber perwakilan dari Kemenkominfo, Bambang Gunawan menyatakan, “Pilar demokrasi bukan lagi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Di era digital ini, pers dan media sosial juga sudah menjadi pilar demokrasi”. Masyarakat yang memiliki informasi yang berkualitas akan menghasilkan demokrasi yang berkualitas, oleh sebab itu ruang publik harus diisi oleh informasi sosial dan politik yang berkualitas. Lebih lanjut Bambang menyampakan bahwa kehidupan demokrasi terancam oleh kelompok masyarakat yang apatis, sinis dan pesimis, yang menggunakan kemajuan teknologi informasi.

Dari diskusi ini, solusi yang disampaikan oleh Kris dalam menangani isu SARA dalam Pemilu dan Pemilihan adalah, pertama, memperkuat kelembagaan struktur mobilisasi partai politik, kedua, memperkuat literasi kesetaraan politik, ketiga, memperkuat pengawasan pemilihan, dan keempat, mempertegas regulasi serta sanksi atas politisasi SARA dalam kampanye.

Menambahkan Kris, Valina mengusulkan agar, pertama, desain sistem pemilu diubah dari open list menjadi close list, kedua, presidential threshold menjadi zero, dan ketiga, pemberian edukasi pada seluruh pihak terkait dengan isu SARA dalam kampanye dan pemilu.

Menutup diskusi, Raka Sandi selaku Komisioner KPU RI menyampaikan bahwa ke depannya, KPU akan meminta desa yang menjadi bagian dari Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan akan menyampaikan sharing pengalaman terkait dengan pelaksanaan program ini.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 924 Kali.