
LAHIRNYA PANCASILA DAN KOMPROMI SEBUAH DASAR NEGARA
Hari lahir Pancasila Tahun 2025 diperingati pada 1 Juni. Setiap tahunnya bangsa Indonesia memperingatinya sebagai tonggak perjalanan Bangsa Indonesia dalam merumuskan teks Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Rumusan tentang teks Pancasila bukan dalam hitungan menit atau jam, tapi dibutuhkan kerja ekstra pikiran serta pemikiran yang bernas dan mendalam.
Saya teringat satu buah buku yang merupakan disertasi salah satu tokoh bangsa, Ahmad Syafi’i Maarif di Chicago University, AS, yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Disertasi ini akhirnya dibukukan dan diterbitkan oleh LP3ES cetakan ke III tahun 1996. Buku ini memotret percaturan perdebatan dalam pengusulan dasar negara Republik Indonesia yang di dalam Majelis Sidang Konstituante, diajukan tiga rancangan draft tentang dasar negara yaitu, Pancasila, Islam, dan Sosio-Ekonomi.
Kilas balik sebuah perdebatan ‘ideologis’
Dalam dinamika sidang konstituante, yang menjadi lokus perdebatannya adalah tentang perdebatan dasar negara. Bagi Muhammad Natsir tokoh yang mewakili kalangan Islam, bahwa ia mempertegas dan menjelaskan pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia dimana ummat Islam merupakan mayoritas pemeluknya. Natsir melanjutkan, baginya hanya ada dua (2) pilihan untuk dasar Negara Indonesia yaitu Sekulerisme atau paham agama. Ia berpendapat bahwa Pancasila itu bercorak la-diniyah, oleh karenanya sekuler, dan tidak mengakui wahyu (kitab suci) sebagai sumbernya, dan Pancasila adalah hasil penggalian dari Masyarakat. Meski demikian, bahwa menurutnya ajaran Islam punya sifat-sifat sempurna bagi kehidupan negara dan Masyarakat serta dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Intinya, kelompok agama minoritas tidak perlu takut manakala Islam sebagai dasar negara. Tentu bahwa, himbauan ini tidak serta merta mudah diterima oleh golongan-golongan politik di luar Islam.
Pada tepian lain, dalam menyokong Pancasila sebagai dasar negara salah satu motor penggeraknya adalah Mohammad Hatta, dan penggali Pancasila-nya yaitu Soekarno, dari teks Sila Ketuhanan hingga Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial, yang nantinya mengalami modifikasi dalam sidang-sidang BPUPKI. Selanjutnya bagi Soekarno, Pancasila dapat diperas menjadi Eka-Sila, yaitu Gotong Royong. Dan Pancasila hasil perasan ini mendapat sokongan dari golongan komunis yang tercermin pada pidato yang disampaikan Ir. Sakirman dalam majelis. Inilah yang menjadi alasan dimana wakil-wakil Islam menaruh kecurigaan pada pendukung Pancasila, sebab mereka membiarkan pihak komunis menafsirkan sila Ketuhanan dengan menusuk iman umat Islam. Meskipun bagi pendukung Pancasila tidak menaruh curiga pada konsep Perasan Pancasila Soekarno. Yang menarik bahwa, dalam perdebatan pada dasar negara ini dilakukan dengan cara-cara yang argumentative, bukan sentimental.
Menurut Muhammad Yamin, Pancasila asal usulnya dari bahasa Sansekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral, dimana kata Pancasila ini terdapat dalam Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Langkah yang dilakukan Soekarno adalah “mengambil” terma ini kemudian mengisi dan menggantinya yang baru.
Bagi Soekarno, Pancasila adalah refleksi kontemplatif dari warisan Sejarah dan social budaya Indonesia yang pada akhirnya dirumuskan kedalam lima prinsip. Dan pada prinsip ke-Tuhan-an tidak menyertakan pada ajaran doktrin keagamaan manapun. Dengan demikian, konsep Tuhan dalam perspektif Soekarno adalah bersifat Sosiologis, bukan Teologis.
BPUPKI dan perannya
Ditengah carut marutnya situasi militer Jepang, pada tanggal 1 Maret 1945, pihak Jepang mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Radjiman Wedioningrat. Dalam sesi pertama sidang ini didominasi oleh tokoh-tokoh sekuler yang cenderung menolak ide negara Islam.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno, seorang pemimpin nasionalis terkemuka menyampaikan pidato untuk pertama kalinya menguraikan gagasannya tentang lima dasar negara Indonesia Merdeka, yang kemudian disebut Pancasila. Dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyinggung dan menyangkal gagasan tentang negara Islam. Bagi Soekarno, bahwa mayoritas 90% penduduk Indonesia beragama Islam, tetapi Sebagian besar darinya tidak terlalu taat dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Dan tanggal 22 Juni didalam mendiskusikan kelanjutan tentang beberapa isu-isu yang musti diselesaikan, dibentuklah panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno, dan delapan anggota lainnya yaitu Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subardjo, dan Maramis (wakil Golongan Sekuler), Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasjim, serta Abikusno Tjokrosujoso (mewakili kubu Islam) dalam panitia kecil ini dikenal dalam rumusannya tentang “Piagam Jakarta”, hingga nantinya kubu Islam hanya menyisakan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan Wachid Hasjim (Nahdlatul Ulama).
Kompromi optimal sebuah dasar negara
Pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Disaat yang sama PPKI menyetujui draf UUD yang disusun BPUPKI, dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dicoret. Kompromi ini dilakukan dalam Upaya menyelamatkan kemerdekaan Indonesia oleh kedatangan pasukan sekutu. Maka posisi Islam haruslah bersedia mengalah. Yang lebih penting lagi bahwa Kasman Singodimedjo meyakinkannya bahwa berdasarkan sebuah pasal dalam UUD, dikatakan bahwa dalam waktu enam bulan akan disusun UUD yang lebih komprehensif. Karena percaya bahwa posisi Islam akan diajukan lagi, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun sesi tersebut pada kenyataannya tidak pernah diadakan, karena gelombang besar revolusi kemerdekaan.
Dengan demikian, Ki Bagus Hadikusumo yang pada awalnya tetap berpegang pada prinsip tujuh kata itu, dan atas argument yang meyakinkan dari Kasman Singodimedjo, akhirnya Ki Bagus Hadikusumo mengikuti saran tersebut Kembali pada draf UUD yang disusun sebelumnya oleh BPUPKI, hal ini dilakukan demi persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.
Point reflektif yang urgent
Perbedaan dalam hal gagasan ini tercermin dalam banyak hal baik pemikiran yang mendukung argument para bapak bangsa, cara pandang pada realitas, baik dalam kacamata ideologis, menjadikan perdebatan ini berkualitas dan berkelas. Baik dalam kalangan Islam maupun sekuler adalah pribadi-pribadi yang cerdas.
Dengan demikian, mendahulukan kepentingan kebangsaan di atas kepentingan ideologi dan kelompok adalah wujud kejernihan dalam melihat visi kebangsaan kedepan yang lebih penting, karena negara membutuhkan menghimpun kekuatan dalam memerangi penjajahan dan berbagai bentuk kolonialisme. Meski dasar negara, ditempuh dengan perdebatan yang cukup keras dan argumentative serta pada kenyataannya ia ‘dikompromikan dengan cerdas’ demi terwujudnya persatuan dan kesatuan sebuah bangsa yang Merdeka.
Semoga semangat dan keteladan bapak bangsa dalam Menyusun dasar negara Republik Indonesia dapat menjadi mata air keteladan bagi generasi hari ini. Terwujudnya Masyarakat yang adil dan Makmur yang diridlai Allah, Tuhan Yang Kuasa, dengan memaknai nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia. Selamat Hari Lahir Pancasila. Salam Demokrasi.
(WAHYU BUDI UTOMO / Anggota KPU Kota Salatiga)