
EKSISTENSI PARTAI POLITIK : PEMBENTUKAN, PERGERAKAN, DAN PENGARUHNYA PADA MASA PRA-KEMERDEKAAN
Berbicara tentang demokrasi dan kepemiluan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari berbagai lingkup organisasi massa maupun organisasi politik yang pernah dibentuk sebagai wadah saluran pergerakan politik sebelum, pada saat kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Bagi generasi 70-an sampai 90-an familiar dengan keberadaan tiga partai politik peserta pemilu seperti Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia. Termasuk dalam pengidentifikasian ‘ideologi’ yang diusung oleh masing-masing partai tersebut, baik nasionalis, religius maupun marhaenis. Ketiga partai itu pernah menghiasi iklim perpolitikan di masa Orde Baru. Baru pada masa reformasi 1998 dan setelahnya, jumlah partai bertambah menjadi 48 partai politik, hal ini menandai bahwa keran demokrasi dibuka seluas-luasnya.
Meski demikian, partai-partai politik yang berkompetisi dalam iklim politik pasca reformasi bertumbuh dan ber-evolusi. Masing-masing dari mereka ‘ditantang’ oleh kenyataan kondisi bangsa Indonesia yang memulai suasana kebaruan yakni era reformasi. Apakah partai politik tersebut dapat bertahan (survive) atau sebaliknya, akan berfusi kepada kekuatan politik yang lain, atau bahkan lenyap bak ditelan bumi.
Pada Pemilu tahun 2024 di Indonesia diikuti oleh 18 Partai Politik peserta Pemilu ditambah 6 Partai politik KIP Aceh total ada 24 partai politik, pada Pemilu tahun 2019 diikuti oleh 16 partai politik, pada pemilu tahun 2014 diikuti oleh 14 partai politik, pada pemilu 2009 terdapat 38 partai politik, pemilu tahun 2004 diikuti sebanyak 24 partai politik peserta pemilu dan pemilihannya dilakukan secara proporsional terbuka, artinya bahwa pemilih dapat memilih calon legislative secara langsung.
Dalam sejarahnya, Indonesia melaksanakan Pemilu pertama kali pada tahun 1955. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Inilah pemilu pertama yang dilaksanakan setelah kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945.
Dalam tulisan yang sederhana ini penulis mencoba memotret secara kronologis bagaimana perjalanan entitas dari saluran politik berupa partai politik pada pra-kemerdekaan, terbentuknya, pergerakannya, serta pengaruhnya bagi iklim pra kemerdekaan. Tentu kemunculan partai politik bukan dalam ruang hampa yang terjadi secara kebetulan tanpa berbagai sebab yang melatarinya. Dan tentu supaya pemahaman kepada Sejarah tidak diskontinuitas atau terputus.
Dampak Revolusi Industry Eropa bagi negara dunia ketiga
Kemajuan negara-negara besar di Eropa bersaing untuk memenangkan pertarungan dalam hal ekonomi secara simultan. Mengapa? Karena negara-negara itu berlomba dan bersaing dalam hal perdagangan serta produksi bahan industry, tentu yang menjadi sasarannya adalah negara yang bagi mereka adalah antah berantah, tetapi menghasilkan pasokan sumber daya alam yang melimpah. Tidak terkecuali Indonesia. Beberapa negara di benua Eropa pernah singgah di Indonesia, dimulai dari Portugis, Inggris, Perancis, Belanda, hingga Jepang.
Dalam Sejarah dan ingatan kolektif kita, Belanda merupakan negara yang cukup lama bercokol di Indonesia, bahkan peninggalan bangunan seperti rumah, barak, rumah sakit, bangunan perkantoran, maupun yang kita sekarang mengenalnya sebagai bangunan cagar budaya, dominasi dari peninggalan Pemerintahan Belanda. Meski beberapa thesis menyangsikan tentang berapa lama Belanda menjajah Indonesia. Tapi sekali lagi ingatan kolektif kita sepakat bahwa Belanda-lah paling lama ada di Indonesia, termasuk pada masa pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, yang dikenal sebagai agresi militer Belanda kedua.
Disamping perdagangan dan motif ekonomi lainnya dalam persaingan negara-negara maju di Eropa, hal ini pada kenyataannya berdampak dengan terjadinya penjajahan dan berbagai bentuk kolonialisme. Dengan mempertahankan status social dan mengkategorikan dalam kehidupan social, yakni orang kulit putih, pribumi, dan orang keturunan Cina. Pada intinya, Pemerintahan Belanda sang pemilik kebijakan dalam daerah kekuasaan mengkontrol Gerak-gerik kaum pribumi dan segala bentuk aktifitasnya, termasuk Pendidikan.
Geliat Kaum terdidik Pribumi di Hindia-Belanda
Dalam waktu yang lama dan kondisi yang sangat memprihatinkan, kaum terdidik (intelegensia) pribumi menginisiasi komunitas pergerakan dan merumuskan suatu respons ideologis atas negara colonial yang represif, dengan berbagai keragaman social dan budaya kaum terdidik melahirkan berbagai macam respon ideologi yang bermacam pula. Sehingga lahir kaum terdidik muslim, kaum terdidik Kristen, kaum terdidik komunis, nasinalis, sosialis dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya memang pulau Jawa merupakan jantung (focal point) dari Masyarakat Hindia Belanda. Dan di Jawa-lah terpusat aktifitas-aktifitas Politik, pemerintahan, Pendidikan, dan ekonomi dari Hindia-Belanda (Indonesia).
Yudi Latif mengutip Ruth McVey, mengatakan bahwa Gerakan-gerakan nasionalis Indonesia awal tidak langsung muncul sebagai partai-partai politik yang terstruktur, tetapi lebih dalam bentuk Gerakan-gerakan social yang terorganisir dan longgar. Namun, tanpa dibantu wawasan teori-teori Gerakan social, ia tidak bergerak lebih jauh untuk mengekstrapolasikan bentuk masa depan Gerakan-gerakan nasionalis Indonesia, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan partai-partai politik sejak 1920-an. Tentu yang tidak bisa dilewatkan bahwa kaum terdidik ini mendapatkan Pendidikan barat oleh Pemerintah Kolonial. Dan tentu bagian dari kebijakan Pemerintah Belanda dengan Politik Etisnya, yang salah satu diantaranya adalah terkait dengan Pendidikan.
Berdirinya perhimpunan dan organisasi sosial politik lainnya
Boedi Oetomo didirikan di Batavia pada 20 Mei 1908. Berawal dari kelompok kecil pelajar Jawa di Batavia. Yang mengilhami para pelajar ini ialah gagasan-gagasan Wahidin Sudiro Husodo, seorang pensiunan Dokter-Jawa. Beberapa pendirinya adalah para siswa STOVIA seperti Sutomo, Suradji, Mohammad Saleh, Suwarno, dan Gunawan Mangunkusumo. Organisasi ini merupakan organisasi kaum pribumi pertama yang dikelola dengan gaya Barat, yang fokusnya pada isu-isu Pendidikan dan kebudayaan.
Bersamaan dengan pendirian Boedi Oetomo, para mahasiswa yang belajar di Belanda, di tahun yang sama juga mendirikan “Indische Vereeniging” atau Perhimpunan Hindia, perkumpulan ini orientasinya pada forum social dan budaya, dan untuk mengikuti perkembangan informasi di tanah air.
Dalam ranah perhimpunan social, tonggak terpenting dalam perluasan ruang public ialah didirikannya Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909 di Bogor. Organisasi ini didirikan oleh Tirto Adhi Surjo. Lokus tujuannya adalah memperbaiki kondisi-kondisi buruk yang dialami oleh pedagang atau pengusaha muslim pribumi sehingga bisa mengejar yang dicapai oleh pedagang keturunan Cina, maupun orang-orang Eropa.
Prestasi besar dalam pembentukan perhimpunan-perhimpunan kaum muda Islam yakni berdirinya Muhammadiyah dan Sarekat Islam pada tahun 1912. Muhammadiyah berorientasi pada memperkuat persatuan dan kekuatan Islam dalam menghadapi aktifitas-aktifitas kolonialisme dan misionaris Kristen. Organisasi ini sama seperti Boedi Oetomo, mengadopsi metode pengelolaan yang modern. Jangkauan Gerak Muhammadiyah meliputi sekolah, publikasi, panti asuhan, klinik, rumah sakit, dan lain sebagainya.
Disaat Muhammadiyah bergerak pada ranah aktifitas social dan Pendidikan, sementara itu Sarekat Islam berfokus pada kegiatan advokasi dan politik.
Sarekat Islam (SI) didirikan pada tahun 1912, pendirinya adalah H. Samanhudi, seorang pedagang batik local. Lahirnya SI merupakan titik yang menentukan dalam ide perkembangan kebangsaan Islam sebagai bentuk nasionalisme. Tergabung para tokoh didalamnya seperti Suwardi Surjaningrat, Abdul Muis, R.M. Surjopranoto, dan HOS Tjokroaminoto.
Meskipun SI ini bukan partai politik dalam arti yang sebenarnya, namun ia memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi massa untuk melakukan aksi buruh dan penyerangan ke objek secara sporadic. Hal ini ditandai penarikan diri SI dari Volksraad atau dewan rakyat bentukan Belanda yang dulu sikap politiknya kooperatif menjadi non-kooperatif.
SI banyak dihuni dan melahirkan tokoh-tokoh besar dengan berbagai macam ideologi, seperti Semaun, Darsono, Alimin, Muso, dan H. Misbach kelak mereka menjadi tokoh besar PKI pada masanya. Setelah sebelumnya SI terpecah dalam SI Putih dan SI Merah.
Pada perkembangan periodic masa yang tidak terlalu lama muncul organisasi politik Belanda dalam urusan politik negeri Hindia-Belanda. Pada masa inilah gagasan tentang Marxisme dan Komunisme dimulai secara sistematis. Pengenalan ini dilakukan oleh mantan aktivis Partai Buruh di Belanda (SDAP) dan Partai Sosial Demokrat (SDP) di Belanda. Tokoh terkemukanya adalah Josephus Fransiscus Marie Sneevliet. Orientasinya adalah menyebarkan ide dan gagasan Marxisme pada Masyarakat terjajah.
Kemunculan Jong Java dan Jong-Jong lainnya
Kesadaran perjuangan dalam pergerakan sangatlah dinamis, para kaum terdidik pribumi ingin Gerak perjuangan ini tidak hanya didasari oleh latar belakang primordialisme, sebuah spirit yang melintas batas kesukuan dan etnis. Didirikanlah sebuah perhimpunan pada tahun 1915 dengan nama Tri Koro Dharmo. Setelah kongresnya yang pertama di Surakarta tahun 1918 berubah nama menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Tujuannya ialah menyatukan para pelajar pribumi di sekolah – sekolah menengah dan instituis kejuruan untuk memperluas pengetahuan umum para anggotanya, serta membangkitkan rasa persaudaraan diantara semua bahasa dan budaya Hindia.
Keberadaan perhimpunan ini (Jong Java) membangkitkan kesadaran baru bagi para pelajar dari latar yang beragam. Sehingga bermunculan perhimpunan dengan berbagai macam latar belakang yang melatarinya sebut saja Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun (1919) dan lainnya. Kelahiran perhimpunan pemuda ini semakin menambah kesadaran nasionalisme di Hindia.
Ada yang menarik dari berdirinya beragam perkumpulan pemuda, yakni disaat yang sama para propagandis Marxisme Komunisme mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada tanggal 9 Mei 1914 di Surabaya, kelak organisasi ini berevolusi menjadi Partai Komunis Indonesia. ISDV ini dalam Gerakan politiknya cenderung lebih Revolusioner. Berbeda dengan Partai Sosial Demokrat Hindia pimpinan Ch. C. Cramer yang lebih moderat.
Partai Politik pada masa Hindia-Belanda
Dalam kerangka kronologis perkembangan Gerakan social dan politik di Hindia-Belanda, didirikan partai politik Hindia pertama berasaskan multikulturalisme bernama Indische Partij (IP) pada 5 Oktober 1912 di Semarang. Motif didirikannya partai ini adalah perasaan dislokasi social komunitas Indo sebagai akibat dari pemisahan social dalam struktur colonial. Meskipun secara teoritik orang Indo-Eropa itu sederajat, tapi pada kenyataannya terjadi berbagai benturan antara penduduk tetap dan penduduk sementara dalam berbagai macam hal. Komunitas orang Indo melihat semakin meningkatnya komunitas eksklusif orang-orang Eropa, dan adanya ancaman ekonomi serta kesenjangan lapangan pekerjaan. Dikomandoi oleh Douwes Dekker berkolaborasi dengan orang-orang pribumi menuntut hak dan kesetaraan yang pada akhirnya melahirkan Nasionalisme Hindia, yang mengidealkan identitas Bersama daripada identitas primordial lainnya. Yang tergabung dalam Indische Partij yakni Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Douwes Dekker yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yang mampu menciptakan partai itu sebagai partai non-Eropa yang paling radikal dan maju secara politik. Namun karena tekanan pemerintah colonial Belanda yang massif, partai ini bubar pada tahun 1913, hingga nanti Namanya berubah menjadi Nationaal Indische Partij (NIP) pada tahun 1919.
Pada sekitar tahun 1920, Sarekat Islam (SI) dengan berbagai dinamika yang melingkupinya yang pada awalnya merupakan Gerakan social politik menjadi Partai politik yakni Partai Sarekat Islam (PSI) kemudian menjadi Partai Sjarikat India-Timur (PSII) pada 1927 dan akhirnya menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1929.
Dan Pada 1924 para anggota Perserikatan Komunis di Hindia didukung oleh kelompok pecahan SI (SI Merah) mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tanggal 4 Juli 1927 perhimpunan yang bernama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) berubah menjadi partai Nasionalis pertama yang dipimpin oleh intelektual berpendidikan tinggi yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Sukarno ditunjuk menjadi ketuanya.
Peran Partai Politik di Masa Pra Kemerdekaan
Dari berbagai deskripsi tentang perjalanan Panjang dinamika Gerakan social dan politik di Indonesia dapat dilihat bahwa partai politik tidak terbentuk secara Cuma-Cuma dan kebetulan, melainkan melalui proses Panjang untuk menemukan format terbaiknya, tentu pada periode pra kemerdekaan. Partai politik tanpa menafikan peran perhimpunan dan organisasi yang lain, merupakan sarana strategis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Dengan latar belakang ideologi yang berbeda, menjadikan issue yang dibawa beserta praktiknya menjadi menjadi beragam.
Upaya dan peran yang dilakukan oleh Partai Politik pada masa pra kemerdekaan ialah pertama, menyuarakan dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, baik dalam bingkai social, politik, ekonomi, Pendidikan, hingga lapangan kerja yang non-diskriminatif. Karena masa penjajahan banyak terjadinya bentuk-bentuk pembatasan Gerak politik warga, pun dalam dunia Pendidikan, materi yang diajarkan disekolah harus dalam pengawasan pemerintah colonial. Dan tujuan besarnya adalah memperjuangkan dan meraih kemerdekaan sepenuhnya. Kemerdekaan jiwa raga sebagai bangsa dan negara.
Dengan demikian pada akhirnya, disamping peran yang signifikan dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Partai-partai politik inilah, baik PSII, PKI, serta PNI inilah, partai yang akan menghiasi iklim politik Indonesia pada Pemilu tahun 1955 sebagai Pemilu yang pertama kali dilaksanakan.
Pada tahun 1926 Sukarno menulis essai di majalah Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar. Dan pada masa kepemimpinannya kelak, pertarungan tiga ideologi ini cukup sengit, tidak hanya dalam keikutsertaannya pada Pemilu Tahun 1955, bahkan pengaruh ketiganya sampai ke akar rumput masayarakat bawah. Dan yang menarik, ketiganya masuk dalam prosentase jumlah suara partai terbanyak pada Pemilu tahun 1955. Salam Demokrasi. Salam KPU Melayani.
(WAHYU BUDI UTOMO / ANGGOTA KPU KOTA SALATIGA)