DEMOKRASI ANTROPHOSEN: MENYOAL ETIKA DAN POLITIK LINGKUNGAN

“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat menangkap terwelu. Namun, ia adalah penguasa atas semua Binatang. Manusia menyuruh Binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya Binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri. Tenaga kami untuk membajak tanah, kotoran kami untuk menyuburkan tanah, tetapi tak satupun dari kami memiliki tanah seluas kulit kami.” (George Orwell, Animal Farm, Penerbit Bentang, 2024, hal. 6)

 

Dalam film Lord Of The Ring, episode Two Towers, terpampang Gambaran kondisi tempat yang terdapat tanah yang gersang, tandus, panas. Kegiatan yang ada didalamnya terkait dengan besi dan api yang dilakukan oleh para gerombolan Uruk-Hai. Bahkan gerombolan Orc dan Uruk-Hai membabat hutan Fangorn, tempat tinggal bagi bangsa Ent (pohon hidup). Ras ini adalah pelindung hutan dan pepohonan, dan umumnya tinggal di hutan Fangorn. Bicaranya lambat dan pelan. Mereka berbicara dalam bahasa Ent jika mereka akan mengadakan rapat untuk membahas sesuatu. Ketika bangsa beraliansi seperti bangsa Rohan, Aragorn, Legolas, Gimli, dan pasukan Elves untuk melawan Saruman, bangsa Ent tidak tertarik dengan permasalahan yang ada di Middle-Earth, tapi karena Ent melihat sendiri hutannya dibabat oleh bangsa Orc dan Uruk-Hai, maka dia menuntut balas atas apa yang dilakukan oleh bangsa Orc dan Uruk-Hai. Bangsa Ent menyerang istana Isengard untuk menghancurkan Menara Orthanc sebagai tempat tinggal Saruman. Dengan kekuatan penuhnya bangsa Ent berhasil membobol waduk raksasa, hingga banjir besar juga melanda Menara Baraddur di Mordor yang menjadi tempat bagi Sauron.

Bagi penggemar JRR Tolkien dengan beberapa Trilogi novelnya LoTR cukup menegangkan dalam petualangan didalamnya, film nya pun demikian. Penggambaran situasi tentang kekuasaan yang arogan tidak hanya dengan bangsa lain, namun juga kepada masalah Ekologis.

Berkembang dan bergeser

Dalam perkembangan peradaban manusia yang demikian maju. Memang menjadi hal lumrah bahwa perkembangan itu bertahap secara dinamis dan intens. Bagaimana tidak, manusia yang ber-evolusi secara kognitif mengawali perkembangan-perkembangan selanjutnya, perkembangan kognitif manusia bagaimana manusia memaksimalkan kemampuan berfikirnya (misalnya strategi berburu yang tidak monoton) untuk mengorganisir dan mengorkestrasi buruan liar untuk bertahan hidup. Selanjutnya, ia mampu mendomestikasi baik tumbuh-tumbuhan dan hewan menjadi ternak, hingga sampai pada tahap kemajuan sains dan teknologi, membuat hidup manusia efektif dan efisien.

Dulu dimasa peradaban Yunani, kita menemukan bahwa sejak awal mula, objek yang menakjubkan, mengherankan, dan menjadi pergumulan pemikiran manusia serta menandai lahirnya filsafat pertama di Yunani kuno pada abad ke-6 Sebelum Masehi sesungguhnya tidak lain adalah soal hakikat alam semesta, atau tepatnya hakikat segala sesuatu di alam semesta ini. Pergumulan utama filsafat mereka pada waktu itu berkaitan dengan hakikat alam semesta dan kehidupan di alam semesta.

Ada beberapa fase perkembangan pemikiran manusia sekaligus menjadi perubahan paradigma penting dalam Sejarah manusia. Pertama, zaman filsuf alam, yang memahami alam semesta secara organis sebagai satu kesatuan yang tak terpisah diantara berbagai bagian alam semesta. Alam dipahami secara organis sebagai sebuah kesatuan asasi. Pemahaman ini membentuk karakter dan perilaku manusia terhadap alam dalam sebuah pola hubungan harmonis yang melindungi alam semesta seluruhnya sebagai bagian dari kehidupan manusia. Kedua, Abad Pencerahan, datangnya abad pencerahan ini menjadi titik balik bagi pemahaman lama tentang kesatuan alam organis. Cara pandang tahap ini adalah cara pandang dengan paradigma mekanistik tentang alam, yang menandai cara berfikir Masyarakat modern. Paradigma ini memandang alam sebagai mesin yang terpisah menjadi bagian-bagian. Untuk memahami mesin, hanya bisa dilakukan dengan memilah bagian-bagiannya menjadi bagian kecil yang terpisah. Dengan cara itu manusia bisa menentukan keseluruhan organisme tadi. Baik tumbuhan, hewan, bahkan manusia adalah mesin. Hanya saja manusia berada pada posisi teratas karena akal budi dan jiwanya. Ketiga, fase organis-sistemis, di dalam fase ini  alam semesta tidak lagi dipandang sebagai sebuah mesin raksasa yang kaku dan kering melainkan sebagai sebuah sistem kehidupan. Sebagai system kehidupan alam semesta dipandang sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan menunjang antara satu dengan lainnya. Untuk kemungkinan kehidupan di alam semesta dapat berkembang. Meski bagian alam semesta itu berkembang otonom, tetapi ia secara terus menerus membuka diri menyerap aliran energi dan materi dari seluruh rangkaian seluruh system dalam kehidupan. Disitulah system kehidupan saling menunjang antara satu dengan lainnya.

Paradigma ini menekankan pada keterkaitan, ekologis, ketakterpisahan, dan saling terhubung. Paradigma organis-sistemis-ekologis, lebih memusatkan perhatian pada pola hubungan dan interaksi dari berbagai bagian organisme alam semesta, tanpa meninggalkan pertanyaan pentingnya tentang materi.

Berbagai cara pandang di atas sangat menentukan didalam pengambil kebijakan, bagaimana pendekatan yang dilakukan dalam episentrum ekologis. Memandang lingkungan hidup sebagai objek yang dikelola dengan sedemikian rupa atau dieksploitasi dengan alasan kemajuan, ini menjadi benang tipis bagi pengambil kebijakan.

Kehendak pada “penguasaan”

Menjadikan alam sebagai objek merupakan cara berfikir manusia modern. Menjadikan alam dan lingkungannya sebagai sasaran Tindakan eksploitatif. Bagi Arthur Schopenhauer seorang filsuf Jerman, kehendak merupakan dorongan, insting, kepentingan, hasrat, dan emosi. Dalam diri manusia pikiran-pikiran (rasio) hanya merupakan lapisan atas dari hakikat manusia. Schopenhauer melanjutkan bahwa Kehendak tidak mengenal payah, karena terjadi tanpa kesadaran, seperti halnya jantung berdetak, paru-paru, yang beraktifitas tanpa perlu dipikirkan. Ia menggambarkan bahwa Kehendak diibaratkan seperti orang badannya kekar, kuat tapi tidak bisa melihat, sementara Rasio, diibaratkan seperti orang yang bisa melihat tapi badannya Lumpuh.

Nah, jika demikian, Kehendak untuk penguasaan kepada objek alam organis tanpa didasari oleh berbagai rangkaian pertimbangan (kebijakan) yang terintegrasi dengan perlindungan dan pelestarian makhluk hidup lainnya adalah merupakan Tindakan eksploitatif. Hal ini berpotensi mengarah pada kejahatan kepada alam dan lingkungannya. Kenapa demikian? Karena untuk merasionalisasikan kehendak pada penguasaan (ekslpoitasi alam) kita semua tidak kehabisan cara. Tetapi jika melihat tidak hanya untuk hari, tetapi melihat generasi anak cucu kita di masa depan, tentu banyak hal yang mesti dipertimbangkan dengan sedemikian rupa dan sebaik-baiknya.

Antroposen dan Politik Lingkungan

Dalam Origin Story, David Christian menggambarkan bagaimana percepatan besar yang dilalui oleh manusia, berawal dari kehidupan yang lambat berbulu dan pengumpul menjadi manusia yang berkembang dengan mengolah sumber daya yang ada. Dan menghasilkan berbagai kemajuan yang signifikan. Baik dari sisi pemerintahan, politik, ekonomi, militer, hingga teknologi. Semua bertransformasi dengan cepat dan nyaris sempurna. Begitupun Yuval Noah Harari dalam Sapien-nya, mendeskripsikan lonjakan yang luar biasa manusia dalam tiga tahap revolusi manusia, baik dalam ranah kognitif, agraris, hingga revolusi sains. Meski demikian memunculkan anomaly, yakni daya kembang dan daya merusak yang beriringan.

Diakhir tulisan ini kita akan melihat pentingnya peran negara di dalamnya. Keniscayaan intervensi negara berkenaan dengan masalah ekologis. Sangat tidak mungkin tanpa pengambil kebijakan berwenang tidak dalam porsi lebih. Karena negara punya kekuatan dan sumber daya, negara punya segalanya. Maka dengan demikian perlu adanya cara pandang yang signifikan dalam melihat krisis lingkungan dan hubungannya dengan manusia. Politik lingkungan yang melihat krisis lingkungan sebagai perwujudan dari ketimpangan dalam alokasi kekuasaan juga kapital. Dan dari sisi etika diperlukan cara pandang baru yang kritis terhadap kehidupan itu sendiri, tentunya pada kehidupan materialistis dan hedon.

Pada sisi lain, negara juga mempunyai peran dalam proses akumulasi dan kepemilikan, serta pemanfaatannya oleh sekelompok kecil kapital, dan proses marginalisasi Masyarakat pada tepian yang lain. Pemanfaatan yang diperhatikan adalah masalah ekonomi dan social, ini tidak terpisahkan. Bukan masalah pembukaan lapangan pekerjaan misalnya, tapi menghapus mata pencaharian lainnya juga menjadi soal.

Tentu masalah yang klasik adalah keadilan, basis Masyarakat, lingkungan, social, dan ekonomi, bagaimana pemerintah mengorkestrasi dalam mengambil Keputusan secara berkeadilan dan bermartabat, serta tentunya mereformasi pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin hak-hak Masyarakat dan keadilan lingkungan.  

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Q.S. Ar Rum: 41).

(WAHYU BUDI UTOMO/ANGGOTA KPU KOTA SALATIGA)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 132 Kali.